Breaking News

6/recent/ticker-posts

Idul Fitri dan Nyepi Dalam Harmoni | Opini | Suara Bumigora

Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos
Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Mataram

Suarabumigora.com - Tahun ini menjadi salah satu tahun yang cukup langka dan istimewa di Indonesia. Bagaimana tidak? Dalam satu bingkai waktu, dua perayaan suci—Idul Fitri dan Nyepi—seolah mengisyaratkan bahwa jalan menuju cahaya tidaklah tunggal. Ada yang menempuhnya dalam keheningan, dan ada pula yang melaluinya dengan gema takbir kemenangan.

Langit pun bersiap dalam ritme yang berbeda. Pada hari Jumat, umat Hindu mengarak ogoh-ogoh sebagai simbol penyingkiran atau penetralan energi negatif (bhuta kala) sebagai bentuk penyucian diri dan lingkungan sebelum memasuki Tahun Baru Saka.
Lalu, bumi berdiam, tenggelam dalam keheningan Nyepi. Matahari terbit dan tenggelam tanpa hiruk-pikuk manusia, tanpa suara mesin, tanpa gemerlap cahaya buatan. Alam pun ikut beristirahat, merenung bersama mereka yang memilih diam.

Kemudian, tiba malam di mana takbir menggetarkan angkasa. Setelah keheningan yang panjang, tibalah saat bagi umat Islam untuk bersuara. Suara bedug, alunan syahdu takbir yang menggema, dan doa-doa yang membubung ke langit menjadi penanda berakhirnya perjalanan panjang Bulan Suci Ramadhan.
Bagaikan dua gelombang yang bertemu di ujung pantai, Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Idul Fitri tidak hadir untuk meniadakan satu sama lain, melainkan untuk mengajarkan keseimbangan. Dalam diam terdapat cahaya; dalam gema terdapat ketenangan. Dua jalan, satu tujuan: kembali kepada yang suci.

Tidak terjadi benturan atau saling menyalahkan. Umat Hindu menyelesaikan sunyi mereka terlebih dahulu, sementara umat Islam kemudian memulai gema takbir. Seperti dua jiwa yang saling menghormati, masing-masing berjalan dalam ruangnya sendiri tanpa harus mengesampingkan yang lain.

Ini bukan sekadar toleransi biasa, melainkan kesadaran mendalam bahwa hidup dalam keberagaman bukan hanya tentang berbagi tempat, melainkan juga tentang memahami kehidupan sosial manusia lainnya. Betapa sering kita ingin didengar tanpa memberi kesempatan bagi yang lain untuk berbicara? Betapa sering pula kita ingin diakui, namun lupa cara mengakui keberadaan orang lain? Namun, tahun ini, langit dan bumi memberikan pelajaran yang indah: ada waktu untuk diam, ada pula waktu untuk bersuara; ada waktu untuk menepi, ada pula waktu untuk merayakan.

Meniti Jalan: Antara Kesunyian dan Perayaan

Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Nyepi pada dasarnya merupakan perjalanan menuju rumah spiritual yang sama, tempat di mana manusia kembali ke jati dirinya yang paling murni. Titik pertemuan idul Fitri dan Nyepi adalah memenangkan Dharma atas A Dharma, atau memenangkan kebajikan atas kekuasaan hawa nafsu. 

Hari Raya Nyepi bukan hanya tentang menutup diri dari dunia, melainkan juga tentang menyelam ke dalam diri sendiri. Dengan memadamkan nyala api duniawi, cahaya batin pun bisa menyala lebih terang. Merenung dalam sunyi memungkinkan hati yang sering tertelan kebisingan dunia untuk terdengar kembali.

Sementara itu, Hari Raya Idul Fitri merupakan momen kembali ke fitrah. Setelah sebulan penuh menahan dahaga, mengekang hawa nafsu, dan menata ulang hati, kita merayakan kemenangan di hari yang fitri—bukan melalui gemerlap perayaan, tetapi melalui kemurnian jiwa yang telah ditempa selama satu bulan lamanya. Keduanya mengajarkan hal yang sama dengan sudut pandang berbeda: bahwa manusia, dengan segala gempita kehidupannya, tetap harus tahu jalan pulang—pulang ke dalam diri, ke nilai-nilai suci, dan ke hakikat kemanusiaan yang sejati.

Ketika Langit Bertakbir dan Bumi Bersunyi

Kita sedang belajar bahwa keberagaman tidak harus menjadi jurang pemisah, melainkan jembatan yang menyatukan. Seperti malam dan siang, seperti laut dan daratan, setiap elemen memiliki waktunya sendiri. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, selama kita mampu memahami bahwa dunia ini bukan hanya tentang diri kita sendiri.

Barangkali inilah yang harus kita pelajari lebih dalam: bahwa dalam hidup, kita tidak selalu harus berbicara untuk didengar. Kadang, diam pun bisa menjadi pesan paling kuat, dan memberi ruang bagi orang lain justru membuat hidup lebih bermakna.

Renungan di Ujung Perayaan

Ketika tiba waktunya, dan gema takbir memenuhi langit setelah keheningan bumi, marilah kita merenung: sudahkah kita benar-benar memahami makna keberagaman?

Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Idul Fitri, dengan kedekatan waktunya tahun ini, seolah menunjukkan bahwa keseimbangan bukan tentang menyeragamkan perbedaan, melainkan tentang memberi ruang bagi yang lain tanpa kehilangan jati diri sendiri. Kita mungkin berbeda dalam cara berdoa, tetapi dalam perjalanan menuju cahaya, kita tetap berada di jalan yang sama. Di antara takbir yang menggema dan keheningan yang menenangkan, kita belajar bahwa harmoni bukan tentang siapa yang lebih keras, melainkan tentang siapa yang lebih memahami.

Karena pada akhirnya, yang suci selalu mengajarkan satu hal: dalam perbedaan terdapat keindahan, dalam keheningan terdapat makna, dan dalam keberagaman terdapat keseimbangan yang harus kita jaga. Ketika hari-hari kembali seperti sediakala, semoga pesan dari kedua hari raya ini tidak hanya menjadi momen sesaat.

Semoga kita tidak hanya menghafal kata “toleransi”, tetapi benar-benar mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dunia ini luas, namun tidak untuk meniadakan apa yang ada. Biarlah langit tetap bertakbir, bumi tetap bersunyi, dan hati kita selalu saling memahami—agar kehidupan berjalan dalam harmoni, bukan hanya di kalender, tetapi juga dalam kenyataan.

Posting Komentar

0 Komentar