Salah satu penyu yang diselamatian Muhidin |
Lombok Utara, suarabumigora.com - Kali ini tim liputan suarabumigora.com menyisir serpihan informasi menuju kecamatan paling tengah di Kabupaten Lombok Utara. Tepatnya Kecamatan Gangga, di salah satu sudut wilayah Gangga terdapat kisah cinta yang berbuah manis bagi konservasi alam dan perubahan pola pikir masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Kisah cinta ini terjadi di pesisir pantai Sedayu, Dusun Lekok, Desa Gondang, Gangga. Perlu diketahui, kisah cinta ini bukan seperti biasanya, ini wujud cinta luar biasa. Bukan seperti kisah Romeo dan Juliet, Qaiys dan Laila, ataupun Zaenuddin dan Hayati. Meski terjadi di pantai ini bukan pula kisah cinta pemuda dengan putri duyung, ini kisah nyata, bukan mitos atau legenda.
Dengan kondisi hujan lebat dan cuaca yang kurang bersahabat, sore itu, Rabu (10/3/2021) tim liputan suarabumigora.com bergegas menyerabat menyusuri jalan yang berkabut meski sedikit mengebut. Setelah berkendara sekitar 15 menit dari Kota Tanjung (Ibukota Kabupaten Lombok Utara) kami terhenti pada sebuah jalan setapak di samping muara Lekok. Lalu bertanya pada seorang pedagang kopi di pinggir muara tersebut tentang kisah cinta luar biasa itu. Ibu Marinah namanya, wanita 34 tahun itu lantas menunjukan kami jalan setapak untuk diikuti.
"Lurus saja ikuti jalan itu sampai mentok, nah di sana lokasinya," ujar Marinah, sembari sibuk mengaduk kopi pesanan para pelnggannya yang merupakan sekelompok nelayan tersebut.
Jalan setapak berpasir itu terlihat sedikit basah, hujan sepertinya masih enggan mereda namun tak membuat perjalanan kami tertunda.
Kurang dari 500 meter dari muara tersebut, jalan setapak itu berakhir, kami terhenti tepat di depan gerbang kecil dengan tulisan "Selamat Datang di Pantai Sedayu". Tak membuang-buang waktu kami langsung menanyakan tentang kisah cinta yang kami telusuri itu. Kami melemparkan sebuah pertanyaan tentang pencarian kami, pada seorang pemuda yang kala itu sedang merapihkan alat perkakas nelayan lantaran angin kencang, Sumaidi namanya.
Muhidin dan istrinya ketika menyelamatkan telur penyu |
Pria 30 tahun tersebut tidak perlu berbasa-basi menjawab pertanyaan kami, ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah pria tua berusia sekitar 60 tahun. Pria itu sedang memperbaiki sebuah jala yang kerap digunakannya untuk menangkap ikan. Nelayan tua itu bernama Muhidin. Saat itu ia memperbaiki jalanya karena sejak bulan Desember ia tak terjun melaut akibat cuaca buruk, ini kesempatannya untuk merestorasi alat-alat tangkapnya.
"Itu dia orangnya, yang sedang memperbaiki jala itu," jelas Sumaidi.
Kami bergegas mendatanginya, sembari menawarkan kami segelas kopi hitam panas, ia meminta kami untuk duduk di sebuah saung kecil yang juga terasa goyang akibat angin kencang. Kopi panas itu segera tersaji, ia mulai bercerita tentang sebuah kisah cinta, usai menegak seruput pertama kopi hitam beraroma khas Gangga.
Muhidin memang bertempat tinggal di pantai Sedayu, berbekal tanah warisan milik leluhurnya, Muhidin mendirikan pondok kecil yang ia tempati bersama keluarganya. Sejak dahulu, pantai Sedayu merupakan lokasi bertelurnya kawanan penyu betina, namun tiap tahun Muhidin memperhatikan jumlah penyu yang mampir bertelur bahkan hingga ke pekarangan rumahnya itu semakin berkurang saja. Terang, ia tahu jumlah penyu yang mampir bertelur setiap tahunnya pasalnya penyu-penyu itu bertelur di halaman depan rumahnya.
"Dulu banyak sekali penyu di sini yang singgah bertelur, lalu jumlahnya berkurang banyak, di sini saja mereka bertelur dari dulu," papar Muhidin.
Penyu merupakan hewan yang juga memiliki sistem pemetaan atau Eko Lokasi, artinya penyu memiliki kemampuan mengenali lingkungannya, tanah atau pasir pantai tempat ia menetas, sehingga suatu saat jika ia akan bertelur, maka ia akan kembali ke tanah tempat ia ditetaskan. Barangkali seperti manusia juga yang mengenali lingkungan kelahirannya dan suatu saat akan kembali ke kampung halaman, kira-kira begitu.
Masalahnya, dari ratusan indukan penyu yang bertelur, hampir tidak ada yang menetas karena ulah manusia. Banyak orang yang sengaja ke pesisir pantai Sedayu guna mencari telur penyu untuk dijual atau dikonsumsi. Harga jualnya pun relatif murah, hampir sama dengan telur ayam berkisar antara Rp 2000 hingga Rp 3000. Telur penyu laku keras terlebih masyarakat percaya khasiatnya mampu meningkatkan kesehatan dan vitalitas. Selain itu banyak pula predator alami yang mengakibatkan penurunan jumlah populasi penyu di lautan.
"Ndak ada yang selamat, telurnya digali, dijual, dan dimakan, kita pelihara saja lalu setelah usia pas, kita lepaskan ke laut, itu pun belum tentu dia selamat, apalagi kita ambil telur-telurnya, jelas akan punah kalau begini" katanya.
Suatu ketika, Muhidin dan istrinya sedang duduk berdua di pesisir pantai Sedayu. Ia menyaksikan saat itu ada seekor induk penyu sedang bertelur, setelah berhasil mengeluarkan semua telurnya dan menguburnya di dalam pasir, induk penyu tersebut lantas pergi perlahan menuju air. Namun sebelum induk penyu itu sampai di air, Muhidin memperhatikan, induk tersebut beberapa kali menoleh ke belakang, lalu terhenti, berjalan kembali dan menoleh lagi ke belakang dalam beberapa langkah, seolah-olah enggan meninggalkan bayi-bayinya yang masih di dalam telur itu. Muhidin lantas mendekat ke Induk penyu tersebut, betapa kagetnya Muhidin ketika melihat penyu tersebut mengeluarkan air mata, seperti menangis.
"Saya lihat dia jalan menuju pantai, beberapa langkah dia diam lalu menengok ke belakang, jalan lagi, nengok lagi, begitu seterusnya. Akhirnya saya penasaran saya lihat dari dekat ternyata penyu itu mengeluarkan air matanya, kaget saya," cerita Muhidin.
Sejak saat itu ia mulai jatuh cinta kepada penyu, ia bertekad untuk melestarikan dan melindungi telur-telur penyu yang ada di wilayah pantai sedayu dengan berbagai upaya. Pada tahun 2014 ia mulai mencari-cari telur penyu lalu dibudidayakannya, selain mencari ke pantai ia juga menyampaikan kepada masyarakat sekitarnya agar sekiranya menemukan telur penyu maka berikanlah padanya untuk ditetaskan dan dikembalikan ke lautan, agar ekosistem laut dapat terjaga, pasalnya Muhidin dan warga Lekok adalah mayoritas nelayan yang tentu saja perekonomiannya tergantung pada kehidupan ekosistem laut.
Muhidin saat memberi makan tukik |
Ia menceritakan, hingga saat ini ada 43 induk penyu yang tetap bertelur di pantai Sedayu, pada saat ia masih kecil ratusan penyu ia temui bertelur di wilayah tersebut, namun karena tidak terlindungi, sebelumnya sempat penyu-penyu tersebut tidak terlihat lagi. Dengan upaya konservasi yang dilakukannya sejak 2014 tersebut, kini 43 ekor induk penyu datang setiap tahun untuk bertelur. Setiap tahunnya Muhidin berhasil menetaskan dan melepas kembali lebih dari 1000 tukik (bayi penyu) ke lautan.
"Dulu sempat menghilang penyu-penyu ini, tapi sejak kita melakukan konservasi sudah muncul kembali, sekarang ada 43 indukan yang tetap bertelur di sini," katanya.
Upaya konservasi mulia ini dilakukan Muhidin secara swadaya. Ia menggunakan biaya sendiri, lokasi sendiri dan fasilitas miliknya sendiri. Ia menyediakan tiga kolam sebagai tempat tinggal untuk anak-anaknya (begitu ia menyebut tukik). Dalam sehari tukik yang dirawatnya dapat menghabiskan tiga hingga empat kilogram ikan yang bernilai sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu. Profesinya sebagai nelayan membantunya mencari ikan untuk pakan tukik-tukin tersebut. Namun ketika cuaca tidak bersahabat atau tidak melaut, ia terpaksa harus membeli ikan ke pasar untuk pakan tukik.
"Pakai biaya sendiri, lokasi dan peralatan kita beli sendiri, belum ada yang bantu, kalau cuaca bagus bisa saya carikan pakan di laut, tapi kalau tidak ya saya harus belikan ke pasar," ungkap Muhidin.
Selama ini, dari rentan Tahun 2014 hingga 2021 tukik yang dilepaskannya ke lautan sudah berjumlah sekitar puluhan ribu ekor. Tukik-tukik yang dipeliharanya kadang diminta untuk dilepas oleh pemerintah daerah ataupun lembaga-lembaga pemerhati lingkungan setempat dalam kegiatan-kegiatan seremonial, namun pada realitanya Muhidin tetap berjalan sendiri tanpa bantuan.
"Banyak yang dari pemerintah juga minta tukik untuk dilepas, terus dari lembaga-lembaga pemerhati juga, tetap saya kasi kadang 100 atau 200 ekor saat acaranya. Tapi kalau bantuan ya belum ada," jelasnya.
Selain berhasil melepas puluhan ribu tukik ke lautan, Muhidin juga berhasil memberi pemahaman dan edukasi kepada masyarakat di sekitarnya untuk melindungi kehidupan penyu. Saat ini bisa dilihat sudah tidak ada lagi pencarian telur penyu untuk dijual ataupun di konsumsi di wilayahnya. Masyarakat sudah mulai memberikan telur penyu tersebut kepadanya, bahkan jika ada nelayan yang menemukan penyu dalam jalanya mereka akan memberikannya kepada Muhidin untuk dirawat dan dilepas kembali.
"Kalau kita ketemu telur di pantai atau indukan yang tersangkut di jala pasti kita berikan ke Idin (sapaan akrab Muhidin), sudah ndak ada lagi sekarang yang menjual telur penyu di sini, lagi pula sanksi hukumnya juga berat," papar Sumaidi, Nelayan yang juga menemani Muhidin saat diwawancara.
Melepas tukik bersama |
Kecintaannya terhadap penyu menjadikan Muhidin sosok konservator penyu yang ulung dan otodidak. Saat ia ditanya mengenai buku panduan merawat penyu ia menyatakan nihil. Pasalnya, Muhidin adalah orang yang tidak bisa membaca, buta huruf, tidak pernah mengenyam pendidikan bahkan sekolah dasar sekalipun. Namun berbekal pengalaman ia berhasil menjadi penyelamat bagi para penyu tersebut. Barangkali ini yang dimaksud cinta tidak butuh aksara, namun bisa memahami rasa.
"Saya tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca, pokoknya belajar dari pengalaman di laut saja, saya tidak paham baca tulis," jelas Muhidin antusias.
Hampir setiap tahun, Muhidin memberikan edukasi kepada para mahasiswa yang belajar mengenai konservasi penyu. Mahasiswa tersebut tidak hanya dari wilayah NTB tetapi juga dari luar daerah. Tak main-main mahasiswa dan para peneliti dari ITB (Institute Teknologi Bandung) juga mendapuk Muhidin sebagai Dosennya.
"Mungkin itu hebatnya saya ya, sekolah tidak tapi mahasiswa dan tim peneliti dari Bandung itu menjadikan saya dosennya," ujarnya sambil berguyon dan tertawa lepas.
Kini, Muhidin mengungkapkan ia membutuhkan mesin penyedot air laut, untuk memompa air laut ke kolam penakaran tukiknya. Beberapa kali ia harus membeli dan memperbaiki mesin pompa air pasalnya yang digunakan hingga saat ini adalah mesin pompa untuk air tawar karena tak mampu membeli mesin pompa air laut. Ketiadaan mesin tersebut kerap membuatnya dan istri harus mengangkut air laut dari pantai hingga ke kolam penakaran dengan cara manual (menggunakan bak atau ember), hal tersebut sangat menguras tenaganya terlebih di usianya yang sudah senja.
"Kendala saya saat ini mesin pompa ini, karena rusak lagi mesinnya, saya tidak punya uang untuk beli mesin yang khusus untuk air laut, jadi untuk sementara ya kita angkut air pakai bak atau ember," aku Muhidin.
Terlepas dari kendala yang dihadapinya, dengan semangat ia menceritakan kisah cintanya. Ia bersama istrinya kerap menami penyu-penyu tersebut saat bertelur. Bahkan istrinya kerap tidur di halaman rumah bersama penyu yang dijaganya bertelur itu.
"Kadang istri saya tidur di samping penyu yang bertelur, dia peluk penyu itu, jadi sudah seperti keluarga sendiri," ceritanya.
Menyelamatkan populasi penyu di alam liar atau melakukan konservasi terhadap ekosistem laut tidak cukup jika hanya mengandalkan Muhidin seorang. Ia berharap lebih banyak orang lagi yang dapat berbuat sama sepertinya untuk melindungi populasi penyu.
"Semoga semakin banyak orang yang berpikir dan berbuat untuk kelestarian penyu ini, karena penyu dan alam yang kita tempati ini adalah pinjaman dari anak cucu kita," tutupnya. (sat)
0 Komentar