Politik Elegansi Demokrasi Desa
Oleh:
SARJONO (Wasekjen PC PMII Yogyakarta 2008-2009)
Pesta demokrasi dan politik ala desa segera dimulai di kabupaten Lombok Utara dan di sejumlah desa di wilayah lain di seluruh Indonesia. Sebagian kalangan, menganggap pemilihan kepala desa (Pilkades) sebagai hajatan pesta demokrasi dan politik di desa yang kurang trendy secara nasional, tetapi pilkades sejatinya merupakan salah satu instrumen tombak pertama untuk menguatkan keberlangsungan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
"Pilkades" dalam makna instrumen, dipahami sebagai pesta demokrasi dan politik masyarakat desa yang sebagian besar berlangsung kondusif lantaran dilandasi kesadaran yang tinggi dari masyarakat desa itu sendiri untuk memajukan pertumbuhan desa dalam berbagai bidang kehidupan yang positif. Hasil pesta demokrasi dan politik desa cenderung lebih berkualitas ketimbang pesta demokrasi dan politik yang terjadi di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan bahkan nasional.
Fakta empiris selama ini, bahwa peristiwa pesta demokrasi dan politik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional selalu dibumbui pelbagai persoalan yang kerap membingungan masyarakat. Misalnya pesta demokrasi dan politik pemilihan bupati, walikota, gubernur sampai dengan pemilihan wakil rakyat dan presiden atau wakil presiden, masyarakat akrab dengan sajian berbagai janji-janji palsu kandidat.
Selain itu, jika kalah dalam perolehan suara, kerapkali tidak mau mengalah sehingga berbuntut panjang kemudian berakhir di ranah hukum. Pihak yang kalah merasa diri dirugikan atau menganggap pihak yang menang bermain curang, hingga tuduhan pada KPU dan Bawaslu bertindak tidak adil atau tidak transparan melakukan penghitungan suara. Preseden buruk pun akhirnya tidak terelakkan terjadi seperti aksi saling gugat-menggugat hingga naik ke tingkat Mahkamah Konstitusi.
Namun, situasi yang kontras disajikan dalam perhelatan pilkades yang lazimnya memperlihatkan pesta demokrasi dan kompetisi politik gaya pedesaan. Sebagai hajat demokrasi lokal di aras desa, pilkades lebih sarat bermuatan politik konstruktif yang mengedepankan paradigma membangun untuk kepentingan umum yakni masyarakat desa secara holistik dan komprehensif, tidak semata-mata hanya untuk meraih kekuasaan kepemimpinan desa.
Keunikan lain yang lebih menarik lagi bahwa calon-calon yang mendominasi di ajang pilkades bukan orang-orang yang berlatar bendera partai. Mereka rata-rata murni berasal dari kalangan non politisi dan lebih fokus dalam memperhatikan kepentingan masyarakat dan siklus hidup desa di pelbagai bidang kehidupan, baik sosial, pendidikan, kesehatan, agama, budaya dan perekonomian desa. Indikator lain yang tampak tidak kalah menarik dicermati dari calon-calon yang maju saat ini, terkait dengan aspek tingkat pendidikannya yang hampir rerata strata satu (sarjana).
Pilkades sebagai pesta demokrasi memilih pemimpin desa, menyajikan para kontestan yang murni berasal dari masyarakat desa yang bersangkutan. Proses elektoralnya pun telah menggunakan sistem pemilihan modern dan demokratis, tak ubahnya pesta demokrasi politik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Demikian pula dengan pilkades mendatang, saat ini sudah mulai nampak terpampang gambar dan wajah para kandidat yang dipasang rapi hampir di setiap sudut desa yang menyelenggarakan. Tampak gambar dan foto calon kepala desa dalam bentuk spanduk, banner, baliho ataupun stiker yang ditempel di tempat-tempat strategis lainnya sesuai dengan aturan dan ketentuan panitia pemilihan.
Potret dinamika proses Pilkades seperti diuraikan di atas seharusnya menjadi contoh positif bagi pelaku politik ataupun penyelenggara di tingkat daerah maupun nasional. Karena pesta demokrasi dan politik masyarakat di tingkat desa hampir seluruhnya berlangsung aman, kondusif, sehat dan bermartabat. Jarang terjadi pergolakan antarpendukung maupun antarcalon yang berkompetisi. Sebagian besarnya berjalan damai tanpa munculnya permasalahan berarti di kemudian hari pasca suksesi Pilkades dihelat. Jika pun terjadi pergolakan pascasuksesi, maka bentuknya hanya riak-riak kecil sebagai bagian dinamika proses demokrasi menuju masyarakat yang lebih dewasa dan matang dalam berdemokrasi. Justru yang acapkali tercermin adalah nuansa kebersamaan dan kekerabatan yang berkelindan diliputi rasa guyub dan persuaan yang elok dan elegan. Pun, suksesi pesta demokrasinya dapat berlangsung luber, jujur, adil serta bertanggung jawab.
Realita lain, calon yang kalah nampak legowo menerima kekalahannya. Sementara calon yang menang pun tidak menampakkan sikap kejumawaan terhadap calon yang kalah, sebaliknya dirangkul dan diajak bekerja sama dengan membangun sinergi untuk kemudian diikutsertakan di dalam pemerintahan desa oleh kepala desa terpilih. Inilah indikator pembeda pesta demokrasi dan politik lokal ala desa.
Sementara pesta demokrasi dan politik daerah maupun nasional, hampir bisa dipastikan pihak yang kalah akan melayangkan gugatan kepada pihak yang menang, sebaliknya pihak yang menang pun tak jarang pula "petantang-petenteng" terhadap yang kalah. Sungguh suatu fenomena yang ironis. Kita perlu kembali pada kilas balik sejarah demokrasi dalam suksesi pilkades. Pesta demokrasi dan politik gaya pedesaan yang lebih demokratis, bersih dan jujur. _Semoga_
0 Komentar