Infografis gempa dahsyat di Indonesia selama 185 tahun terakhir. |
Mataram, suarabumigora.com - Situs Wikipedia mencatat hampir keseluruhan dari rentetan gempa besar yang terjadi di Indonesia. Terhitung sejak Tahun 1833, hampir semua aktivitas tektonik tersebut terjadi di wilayah palung selatan Jawa atau yang lebih dikenal dengan Lempeng Selatan.
Sejak Tahun 1833, atau sekitar 185 tahun yang lalu telah terjadi setidaknya 24 gempa dahsyat dengan magnitudo di atas 7 Skala Richter.
Dua gempa terbesar yang terjadi dengan Magnitudo 9,3 (Samudera Hindia/2004) dan 9,2 Magnitudo (Sumatera/1833), kemudian 6 gempa berkekuatan di atas 8 Magnitudo (<9.M), dan 17 gempa berkekuatan di atas 7 Magnitudo (<8M). Gempa yang terjadi di Lombok tahun lalu (5/8/2018) dengan Magnitudo 7, 0 merupakan skala gempa terkecil dari 24 gempa dahsyat yang pernah terjadi dalam kurun waktu 185 tahun terakhir.
Hal itu dibenarkan pakar Geologi asal Amerika, Prof. Ron A Harris, Profesor yang melakukan penelitian Paleotsunami dan Bencana Seismik di Lombok itu, menyatakan bahwa ancaman gempa di wilayah palung selatan Jawa bukan merupakan hal baru.
"Potensi gempabumi dan tsunami di palung Jawa tidaklah hal baru. Saya meminta maaf sekali lagi jika pemaparan saya mengejutkan banyak pihak, tetapi lebih baik masyarakat tahu, sehingga bisa mempersiapkan diri," papar Harris dalam surat terbukanya yang dilansir Juli ini dibawah naungan Program "Wave 2019/Ekspedisi Paleotsunami dan Bencana Seismik."
"Kapan?, menurut saya itu pertanyaan yang salah untuk gempabumi," ungkap Harris. Ia menyatakan tidak mungkin ada yang tahu kapan pastinya. "Hasil Penelitian kami mengungkapkan palung selatan Jawa menahan energi yang belum dikeluarkan selama 500 tahun, dan berpotensi menimbulkan gempabumi dengan magnitudo 8 hingga 9," ungkapnya.
Citra satelit Google Earth, mengenai posisi Palung Selatan Jawa atau lempeng selatan |
Sekali lagi masyarakat perlu memahami yang dimaksud dengan "Palung Selatan Jawa" adalah lokasi patahan yang membentang dari ujung barat lautan Sumatera hingga lautan Sumba dan mendekati Irian Jaya. Prediksi Harris memang berada dalam wilayah tersebut, tetapi Ia tidak bisa memprediksi titik episenter gempa akan berlokasi spesifik di titik atau daerah tertentu.
Harris dalam suratnya meminta maaf telah mengungkap hasil penelitiannya, namun ia berpesan untuk masyarakat dan pemerintah agar menghentikan pembangunan konstrusi dengan material yang tidak bagus, Ia justru meminta masyarakat membangun dengan kayu, karena pada tragedi gempa Lombok tahun lalu, sedikit bangunan berbahan kayu yang ditemui rusak.
Selanjutnya, Harris berpesan pada masyarakat pesisir agar menggunakan pola 20-20-20, artinya jika terjadi gempa dengan durasi lebih dari 20 detik (meski gempa ringan), maka setelah gempa harus dilakukan evakuasi secepatnya, karena jika kemungkinan terjadi tsunami maka akan terjadi 20 menit setelah gempa, dan diperkirakan ketinggian tsunami akan mencapai 20 meter sehingga masyarakat harus mengevakuasi diri ke dataran yang minimal lebih tinggi dari 20 meter. (sat)
0 Komentar